Senin, 13 Juni 2011

Khabar Ahad Hujjah dalam Aqidah


Berikut ini kami ringkaskan keterangan para ulama yang dipaparkan oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani di dalam disertasi yang telah berhasil dipertahankan oleh beliau guna mendapatkan gelar doktor di Universitas Islam Madinah, yang berjudul Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah (lihat hal. 148-149):
Khabar ahad dalam istilah ahil ushul adalah selain mutawatir, sehingga yang disebut khabar ahad adalah semua khabar/hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Sesungguhnya khabar ahad itu merupakan hujjah/landasan dalam hal hukum maupun akidah tanpa ada pembedaan di antara keduanya, dan hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama salaf.
Dalil yang menunjukkan wajibnya menerima khabar ahad dalam persoalan-persoalan akidah adalah dalil-dalil yang mewajibkan beramal dengan khabar ahad, sebab dalil-dalil tersebut bersifat umum dan mutlak tanpa membeda-bedakan antara satu persoalan (bidang ilmu) dengan persoalan yang lain. Kemudian, selain itu pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak diterima dalam masalah akidah akan melahirkan konsekuensi tertolaknya banyak sekali akidah sahihah.
Pembedaan perlakuan terhadap hadits yang berbicara masalah hukum dengan hadits yang berbicara masalah akidah adalah perkara baru yang tidak diajarkan oleh agama, dikarenakan pembedaan ini tidak berasal dari salah seorang sahabat pun, demikian juga tidak dibawa oleh para tabi’in atau pengikut mereka, dan hal itu juga tidak dibawakan oleh para imam Islam, akan tetapi pembedaan ini hanyalah muncul dari para pemuka ahli bid’ah dan orang-orang yang mengikuti mereka. Sekian kami ringkaskan dari kitab tersebut.
Berikut ini juga kami tambahkan keterangan Imam an-Nawawi rahimahullah yang sangat indah tentang hal ini. Beliau berkata -sebagaimana tertera di dalam Mukadimah Syarh Shahih Muslim- (jilid 1 hal 223-224, cet. Dar Ibnul Haitsam),“Telah tampak dengan jelas penunjukan dalil-dalil syari’at serta didukung oleh hujjah-hujjah aqliyah yang menunjukkan wajibnya beramal dengan khabar wahid, dan para ulama telah menetapkan hal itu di dalam kitab-kitab fikih dan ushul lengkap dengan bukti-bukti penunjukannya. Mereka telah menjelaskan hal itu secara gamblang, dan banyak para ulama ahli hadits dan yang lainnya yang menulis secara panjang lebar maupun ringkas mengenai khabar wahid dan kewajiban beramal dengannya, wallahu a’lam.” Sekian nukilan dari beliau. Keterangan beliau ini juga dinukil oleh Dr. Muhammad Luthfi ash-Shabbagh dalam kitabnya al-Hadits an-Nabawi, mushthalahuhu, balaghatuhu, kutubuhu cet. al-Maktab al-Islami (hal. 265)
Berikut ini juga kami nukilkan sebagian ucapan Syaikh al-Albani rahimahullah -yang telah diakui keilmuannya oleh kawan maupun lawan- sebagaimana disebutkan dalam Muntaha al-Amani bi Fawa’id Mushthalah Hadits (hal. 83), beliau rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang mengutarakan pendapat ini -yaitu hadits ahad tidak menjadi hujjah dalam hal akidah- hanyalah sekelompok ulama ahli kalam/filsafat dan sebagian orang yang terpengaruh oleh mereka dari kalangan ahli ushul di masa belakangan. Kemudian pendapat ini ditelan bulat-bulat oleh sebagian penulis kontemporer tanpa ada diskusi dan bukti yang jelas. Padahal dalam urusan akidah tidak boleh semacam ini terjadi, -hal itu tidak berdalil sama sekali- terlebih lagi orang yang mengatakan bahwa akidah itu harus ditetapkan dengan dalil yang qoth’i dalam hal penunjukan maupun penetapannya.” Sekian ucapan beliau.
Di antara keganjilan konsekuensi pendapat ini -yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam hal akidah- sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah adalah apabila misalnya ada salah seorang sahabat yang mendengar langsung sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara akidah -misalnya mengenai turunnya Allah ke langit terendah- maka sahabat yang mendengar langsung hadits ini dari beliau wajibmeyakini hal itu karena ilmu yang diperolehnya mencapat taraf yakin. Adapun apabila ada sahabat lain atau tabi’in yang mendengar hadits itu tidak secara langsung dari Nabi akan tetapi melalui perantara sahabat tadi maka dia tidak wajib meyakininya meskipun hadits itu sampai kepadanya dengan jalan yang sahih, dengan alasan hadits tersebut adalah ahad! (lihat Muntaha al-Amani, hal. 88).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya Muhtashar Shawa’iq (2/412) sebagaimana dinukil oleh Syaikh al-Albani rahimahullah“Pembedaan ini -antara masalah akidah dan amal dalam hal keabsahan berhujjah dengan hadits ahad- adalah batil dengan kesepakatan umat. Karena hadits-hadits semacam ini senantiasa dipakai sebagai hujjah dalam perkara khabar ilmiah -yaitu akidah- sebagaimana ia dipakai untuk berhujjah dalam perkara thalab/tuntutan dan urusan amaliah…” (lihat Muntaha al-Amani, hal. 117, baca pula keterangan Syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitabnya Syarh al-Waraqat, hal. 214)
Ringkasnya, kami ingin katakan sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah -bukan karena taklid, namun dengan hujjah-, “Bahwa sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengimani setiap hadits yang terbukti keabsahannya menurut ahli ilmu tentangnya -yaitu ilmu hadits- berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sama saja apakah hal itu tentang akidah atau hukumsama saja apakah ia termasuk kategori mutawatir atau ahad, dan sama saja apakah menurutnya hadits ahad itu memberikan faedah kepastian dan keyakinan ataukah dhann/sangkaan yang dominan -sebagaimana sudah diterangkan-; maka wajib baginya dalam menyikapi itu semua yaitu untuk mengimani dan pasrah kepadanya. Dengan cara itulah maka dia telah mewujudkan di dalam dirinya sikap patuh/istijabah yang diperintahkan di dalam firman Allah ta’ala (yang artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan rasul tatkala mengajak kalian menuju sesuatu yang menghidupkan kalian, dan ketahuilah bahwa Allah yang menghalangi antara seorang dengan hatinya dan bahwasanya dia pasti akan dikembalikan kepada-Nya.” (QS. al-Anfal: 24)…” (lihat Muntaha al-Amani, hal. 124-125)
Betapa indah ucapan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullahSemua yang datang di dalam al-Qur’an atausahih dari al-Mushthafa -yaitu Nabi Muhammad- ‘alaihis salam yang berbicara tentang sifat-sifat ar-rahman makawajib beriman dengannya dan menerimanya dengan kepasrahan dan penuh penerimaan…” (Lum’at al-I’tiqad, yang dicetak bersama Syarh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan tahqiq Asyraf bin Abdul Maqshud, hal. 31)
Maka di sini kami ingin menyeru orang-orang yang senantiasa mendengungkan ayat di atas (QS. al-Anfal: 24) dengan maksud untuk mengajak umat untuk mendirikah khilafah islamiyah -dan kami termasuk orang yang merasa senang dengan tegaknya khilafah dengan cara yang syar’i-; kami ingin menyeru mereka untuk pertama kali menerapkan istijabah ini di dalam hati dan perilaku mereka. Yaitu dengan menerima dengan hati yang lapang hadits-hadits ahad yang berbicara dalam hal akidah serta menjadikannya sebagai hujjah, karena sesungguhnya ini merupakan bukti pengagungan terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah sedikit pemaparan yang ingin kami kemukakan di sini, bukan untuk menjatuhkan siapapun dan bukan untuk mengesankan diri yang paling benar, namun sekedar untuk menyampaikan kebenaran dan sebagai nasehat bagi saudara-saudara kami yang mungkin masih belum memahami masalah ini dengan baik. Kebenaran adalah dari Rabbmu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu. Allahu a’lam bish shawab. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam.

Islam, Anda Sudah Paham?


Islam adalah nama bagi sebuah din/agama yang haq, agama yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya. Islam bukan sekedar kepercayaan yang mengandung sikap pasrah semata tanpa ada rambu-rambu khusus -seperti syari’at yang diajarkan Nabi kepada kita- sebagaimana yang diklaim oleh kaum liberal dan pluralis.
Buktinya, di dalam hadits Jibril Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Islam itu meliputi;syahadat/persaksian bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji. Lalu, dimanakan bisa ditemukan ajaran-ajaran ini kalau bukan dalam agama Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Di dalam hadits yang lain, dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan, “Islam dibangun di atas lima perkara: kewajiban untuk mentauhidkan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16, ini lafal Muslim, lihat Fath al-Bari [1/63] dan Syarh Muslim [2/31]). Berdasarkan riwayat hadits ini dapat kita ketahui juga bahwasanya istilah ‘tauhid’ bukanlah istilah baru yang tidak dikenal di masa Nabi, bahkan Nabi sendirilah yang mengajarkannya kepada kita!
Dalam jalur riwayat lain -di dalam Shahih Muslim- masih dari Ibnu Umar juga disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: kewajiban beribadah kepada Allah -semata- dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan.” (lihat Syarh Muslim [2/32])
Berdasarkan dalil-dalil semacam itulah para ulama -di antaranya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah- mendefinisikan bahwa islam adalah: ‘Kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, bersikap tunduk kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari kemusyrikan beserta segenap penganutnya’ (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 104). Apabila kita cermati maka pengertian ini sangat bersesuaian dengan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas.
Ada satu hal yang patut untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenggunakan beberapa ungkapan untuk menyebutkan syahadat, yaitu:
  1. Kewajiban mentauhidkan Allah
  2. Kewajiban beribadah kepada Allah -semata- dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya
  3. Bersaksi bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad utusan Allah
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa barangsiapa yang tidak memenuhi ketiga hal di atas maka tidak bisa disebut sebagai seorang muslim. Artinya, orang yang bukan muslim itu bisa mencakup:
  1. Orang yang tidak mentauhidkan Allah, dan ini mencakup semua orang selain pemeluk Islam, bahkan mencakup kaum munafikin walaupun mereka ‘berbaju’ Islam, dan juga tercakup di dalamnya kaum atheis yang tidak meyakini adanya tuhan. Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang munafikin (yang artinya), “Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’ padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 8)
  2. Orang yang beribadah kepada Allah namun tidak mengingkari sesembahan selain-Nya, yaitu orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah dalam ibadah. Mereka beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain Allah, kelompok ini pun sebenarnya sudah tercakup dalam kategori yang pertama di atas. Allah ta’alaberfirman tentang mereka (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka Allah haramkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. al-Ma’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman mengenai status sesembahan selain-Nya (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah satu-satunya [sesembahan] yang benar sedangkan segala sesuatu yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil…” (QS. al-Hajj: 62)
  3. Orang yang beribadah kepada Allah semata dan mengingkari sesembahan selain-Nya namun tidak mau mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau diutus kepada mereka, seperti halnya kaum ahli kitab di Yaman yang didakwahi oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang beliau itu diutus oleh Allah untuk mengajarkan agama Islam kepada segenap manusia- telah menegaskan dalam sabdanya, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku di antara umat ini entah dia Yahudi atau Nasrani, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah/ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk golongan penduduk neraka.” (HR. Muslim no. 153, lihat Syarh Muslim [2/243]). Oleh sebab itu an-Nawawi rahimahullah memberi judul bab untuk hadits ini dengan judul ‘Kewajiban beriman terhadap risalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berlaku bagi segenap manusia dan dihapusnya semua agama dengan agamanya’ (lihat Syarh Muslim [2/242])